Sunday, February 26, 2017

SURVEILANCE PENYAKIT HOG CHOLERA

MONITORING PENYAKIT Clasical Swine Fever (CSF) PADA HEWAN VAKSINASI DAN NONVAKSINASI DI PROPINSI  JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR
TAHUN 2015

Rama Dharmawan, drh1,BBVet Wates Yogyakarta, sangpencerah5@gmail.com

Penyakit Clasical Swine Fever (CSF) atau Hog cholera pada babi merupakan penyakit yang menular yang menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seiring dengan perkebangan peternakan babi di pulau jawa khususnya di Propinsi Jawa tengah dan Jawa timur, daerah tersebut merupakan kantong terbesar populasi babi di jawa, oleh karena itu banyak para pengusaha ternak babi melakukan beberapa rekayasa perbaikan bibit mereka atau melakukan import bibit  di pasar gelap, sehingga di tengarai dapat menjadi masalah awal terjadinya out break, selain itu letupan  kasus sebenarnya masih terjadi di Jawa tengah namun un-reported, karena berbagai alasan, sehingga monitoring CSF selalu di lakukan untuk mengetahui dan mendeteksi agen penyakit sedini mungkin sehingga agen tersebut tidak menyebar ke temapat lain, selain itu,  mengevaluasi tingkat kekebalan populasi babi yang telah dilaksanakan vaksinasi

            Meteode yang digunakan adalah mengunakan deteksi antibodi CSF produk dari VD pro dari korea, yang dapat menggambarkan bahwa hewan telah mengalami infeksi atau tidak dengan mendeteksi antibody nya pada babi yang belum di vaksinasi, sedangkan yang telah di vaksinasi akan tampak tingkat kekebalan dalam suatu populasi, hewan yang di lakukan pengujian adalah dalam 4 tingkatan umur yaitu Starter, Grower, Finisher dan Induk, karena semua bisa berpeluang terjadi infeksi atau sakit, di mulai dari starter apakah sudah terbentuk antibodi yang di turunkan oleh induk (Maternal antibody) atau hasil vaksinasi ketika umur 2 minggu, semua di monitoring untuk mengetahui efektifitas vaksinasi yang di berikan sampai ke tingkat indukan yang ada , sifat penyakit CSF yang carier dapat timbul sewaktu-waktu tergantung kondisi individual hewan.

Hasil Monitoring vaksinasi CSF pada peternakan babi  pada 10 daerah kabupaten, tidak ditemukan gejala klinis yang mengarah ke penyakit CSF dan  masih ditemukan peternak yang belum pernah sama sekali menggunakan vaksin CSF. Jumlah sampel yang di peroleh selama survailance sudah memenuhi targetsampel 100 % yang telah di rencanakan yaitu 704 ekor yang terdiri dari 14 peternak melakukan vaksinasi dan 10 orang non vaksinasi dan di peroleh 346 ekor  babi yang telah di vaksinasi dan 358 ekor babi yang belum di vaksinasi  . Hasil analisa dengan pengujian  menggunakan  Elisa Vd Pro untuk mendeteksi antibodi di peroleh bahwa ada 222 ekor hewan positif  antibody dan 124 ekor hewan yang negatif antibodi dalam cakupan kelompok sempel babi vaksinasi 346 ekor, sehingga terjadi tingkat kekebalan 64,16 % , sehingga jika di hitung dengan uji T-test two tail, dari 10 kabupaten yang telah di kunjungi dan 14 peternak yang melakukan vaksinasi terhitung T tabel 2,,329, dengan T hitung 1,833 dengan tingkat konfidensi @ : 0,01 dan nilai akurasi 99% dengan asumsi kekebalan kelompok populasi minimal > 55% sedangkan dalam hitungan ada 64% ternak positif antibodi, maka  peternakan yang telah di vaksin adalah protektif terhadap CSF, Sedangkan pada kelompok babi yang non vaksinasi terdapat 32 ekor babi terdeteksi positif antibody dan 326 ekor negatif antibody , sehingga ada 8,94 % babi yang terdeteksi antibody,setelah jika di hitung dengan uji T-test two tail, dari 10 kabupaten yang telah di kunjungi dan 13 peternak yang melakukan vaksinasi terhitung T tabel 5,347, dengan T hitung 2,821 dengan tingkat konfidensi @ : 0,01dan nilai akurasi 99% dinyatakan Aman dari penyakit CSF dengan tingkat batas aman < 15 % dari flok positif nonvaksinasi, setelah dilakukan pengujian Elisaproduk IDEXX untuk deteksi Antigen di peroleh hasil : 14 peternakan divaksinasi dan 13 peternakan non vaksinasi , selanjutnya ada 90 ekor babi dari ternak babi vaksinasi dan 94 ekor babi non vaksinasi dengan jumlah total uji 184 ekor dengan hasil semua Negatif Antigen , sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ternak-babi yang terdeteksi positif pada peternakan babi non vaksinasi tidak ditemukan agen penyebab penyakit Clasical Swine Fever (CSF) , hal ini sesuai dengan hasil pengamatan ternak, dengan tidak di temukan dari gejala klinis penyakit Clasical Swine Fever (CSF) / Hog cholera.


Kata Kunci : Clasical Swine Fever (CSF); Maternal antibody; Vaksinasi ; Uji Elisa

TINDAK LANJUT KASUS PENYAKIT EKSOTIK

LAPORAN TINDAK LAJUT KASUS PENYAKIT EKSOTIK PADA SAPI
DI KABUPATEN SRAGEN



Tujuan
1. Investigasi kasus Penyakit terduga penyakit Eksotik pada sapi
2. Menelusur sejarah berkaitan dengan Kronologi kejadian, penyebaran, Penanganan yang telah di lakukan dan penanganan lanjut
3. Mengambil sampel agar dapat di identifikasi penyebab penyakit pada sapi tersebut
4. Memberikan Rekomendasi sementara terkait penanganan kasus penyakit supaya tidak menyebar ke daerah yang lain .

Latar Belakang
Pada tanggal 18 Agustus dari dinas Peternakan dan Perikanan menerima laporan penyakit yang mencurigakan pada hewan ternak sapi bali berumur ± 2 tahun, yang telah di pelihara di tempat peternak selama Bulan, sapi diketahui milik P Jito yang beralamat dusun Sidomulyo, Kelurahan Nglorog, Kecamatan Sragen , Kabupaten sragen, dengan gejala klinis sebagai berikut : Nafsu makan tidak ada, lesu, kluar leleran lendir berwarna bening sampai kuning dan berbau busuk, terdapat lesi-lesi di sekitar lubang hidung, jika di buka mulut tampak tampak ada lesi-lesi di bagian langit-langit maxilla, lidah dan madibula, juga bau mulut yang busuk di ikuti keluar saliva yang berlebihan dan busa dari mulut, dari keterangan pemilik gajala tersebut sudah tampak sudah selama 10 hari, dan di duga merupakan penyakit eksotik yang re emergen, sehingga dari dinas dengan keterbatasan sarana pengujian dan sebagai peneguhan diagnosa maka dinas mengharapkan bantuan dari BBVet Wates untuk mengirimkan tim untuk
melakukan investigasi kasus, agar penyebab kasus tersebut bisa lebih jelas dan dapat ditemukan agen penyakitnya
Untuk Pengujian/ Pemeriksaan/ Penyusunan ;
Pengujian sampel akan di lakukan sesuai dengan gejala klinis yang ada di lapangan, sehingga dari Team mengambil sampel serum darah hewan sakit 1 ekor, darah segar dengan EDTA, swab hidung dan keropeng / lesi dari hidung hewan sakit, dan 20 sampel serum darah hewan berkuku genap di sekitar hewan sakit, pengujian menggunakan uji serologis PMK, IBR dan paratb , isolasi virus dengan Tisue Culture, dan pemeriksaan parasit darah .
Pelaporan Kondisi Lapangan/Tempat Kegiatan
Kondisi di lapangan yang di investigasi Tim BBVet Wates , pemilik melaporkan kepada petugas kesehatan hewan bahwa hewannya sakit, Istilah bahasa jawa nya “Gomen” atau “BEF” karena tidak mau makan dan mulutnya berbusa terus, hal itu sempat pemilik yaitu P Jito juga menaruh curiga jika sapi yang dipeliharanya tidak seperti biasanya, dan minta mantri untuk mengobati, namun stelah 2 hari tidak kunjung sembuh, bahkan menunjukkan gejala yang semakin parah, sehingga pemilik meminta kembali petugas untuk mengobati lagi , namun setelah 2 hari juga tidak ada tanda-tanda membaik, kemudian pemilik memanggil petugas dinas untuk ke 3 kalinya, setelah di periksa, petugas juga melihat kejanggalan dan menaruh curiga sehingga mempunyai inisiatif untuk melaporkan penyakit tersebut ke kantor dinas peternakan dan perikanan Sragen untuk mengecek ulang gejala klinis penyakit yang tidak umum tersebut, berdasarkan informasi petugas dinas, sapi tersebut, didatang kan langsung dari daerah asalnya yaitu di daerah bali tanpa menggunakan ijin dari dinas, sapi bali di datangkan sejak 7 bulan yang lalu tanpa melalui prosedur resmi, namun menggunakan prosedur aspirasi kepala daerah, sehingga jika di tanya surat kelegalan sapi tersebut, pemilik tidak bisa menjelaskan, ini merupakan kritikal point yang penting, ketika otonomi daerah sudah sedemikian bebas, maka segala aturan yang ada dilanggar oleh bagian eksekutif atau bahkan penegak hukum atau bagian legislatif, padahal aturan tersebut bisa berjalan jika didukung oleh komponen, eksekutif, legislatif dan penegak hukum. Point selanjutnya, di bagian cek point antar propinsi ternyata belum berjalan dengan semestinya, sehingga juga menjadi media penebar penyakit, dari daerah bebas menjadi tertular.
Berdasarkan kondisi riil ketika TIM BBVet datang, hewan masih menunjukkan Nafsu makan sudah ada, lebih sigab dari sebelumnnya, masih kluar leleran lendir berwarna bening sampai kuning dan berbau busuk dan juga merah, terdapat lesi-lesi di sekitar lubang hidung, tidak terlihat lesi-lesi pada kaki maupun di bagian tengah kuku, hewan tampak berdiri dan berjalan normal, bagian mata sebelah kiri nampak ada katarak putih. Dan dari informasi pemilik, hewan selalu diberi limbah makanan yang berasal dari pakan kambing yang tidak habis, hal itu
berlangsung selama di pelihara di kandang tersebut, tampak juga kandang berdekatan dengan kandang-kandang ayam jago bangkok dan memelihara sejumlah burung berkicau, informasi dari tetangga sebelah rumah P Jito, hewan-hewan yang berkuku genap tidak ada yang mempunyai gejala klinis seperti itu, artinya selama 10 hari sakit belum ada laporan kasus sakit hewan ternak ruminant di kandang lain, artinya proses penyebaran harus ada kontak langsung bukan melalui aerosol seperti dugaan sebelumnya. Dan berdasarkan informasi petugas dinas dari 20 sapi bali yang di datangkan dari bali hanya tinggal 1 sapi bali tersebut yang masih hidup, yang lainnya telah mati karena di sembelih atau sakit.namun tidak ada informasi lanjut tentang sakitnya , hewan menjadi mati.

Hasil kegiatan

Tim telah mengambil sampel sejumlah 20 ekor serum sapi dan kambing dan 1 ekor serum sapi bali yang sakit , 1 ekor darah + EDTA dari sapi sakit , swab hidung dengan keropeng lesi hidung , mendata kembali kasus hewan sakit terutama ternak berkuku genap di sekitar lokasi sapi sakit, Memberikan rekomendasi terbatas pada pengendalian dan pencegahan penyakit sedangkan untuk pengobatan bisa di berikan obat antibotik spektrum luas LA (long Acting), anti analgesik antipieretik, vitamin B1 dab B plek, obat penguat stamina dan penyemprotan disinfektan di lokasi kandang sakit dan sekitar kandang ternak yang lain.
Hipotesa dan Diskusi
Hipotesa 1 Kasus yng terjadi merupakan Penyakit Ingusan (Malignant Catarhal Fever) penyakit menular yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit ini bersifat akut yang dapat menimbulkan kematian. Mortalitas penyakit ini cukup rendah berkisar dibawah 7 % sedangkan Rata-rata Morbiditasnya kisaran 50 – 100 %. Di Indonesia penyakit MCF lebih sering menyerang ternak sapi terutama sapi Bali dan kerbau yang ditandai dengan keluarnya cairan berupa ingus dari lubang hidung yang menjadi ciri khas gejalanya. Penyebab utama penyakit Ingusan (Malignant Catarhal Fever) adalah karena disebabkan oleh virus yang termasuk kelompok gammaherpesviruses seperti Rhadinovirus genus. Virus Rhadinovirus genus diketahui terdiri dari 10 genus salah satu diantaranya yaitu ovine herpervirus-2 (OHV-2) sering ditemukan pada domba, caprine herpesvirus-2 ditemukan pada kambing, dan alcelaphine herpesvirus-1 ditemukan pada rusa. genus tersebut bersifat pathogen. Oleh karena itu ternak sapi maupun kerbau yang lokasi peternakannya berada tidak jauh dengan peternakan domba maupun kambing rentan terhadap penyakit ingusan. Bahkan dilansir dari situs Wikipedia penularan atau infeksi dapat terjadi hingga jaran 5 KM dari domba terdekat.

Tanda atau Gejala Umum Penyakit Ingusan (Malignant Catarrhal Fever) :
  • Demam tinggi di atas 41 derajat celcius 
  • Keluar cairan (ingus) dari hidung dan mulut yang berlebihan
  • Kesulitan dalam bernapas 
  • Bau mulut yang khas
  • rabun / katarak pada mata tunggal
  • Depresi dengan menunjukkan perilaku sering bergerak-gerak (tidak bisa diam) 
  • Terkadang sering berbaring di lantai kandang
  • Penurunan kondisi dan kekurusan akibat nafsu makan menurun bahkan tidak ada
  • Terjadi lesi -lesi daerah mulut juga di hidung
  • Sering sembelit diikuti diarea yang berwarna merah seperti darah 
  • uumumnya terjadi pada sapi bali, sehingga terlihat mirip penyakit Jembrana

Pencegahan dan Pengobatan Karena penyebab penyakit Ingusan (Malignant Catarrhal Fever) adalah virus jadi tidak ada obat yang dapat menyembuhkan yang bisa dilakukan adalah pemberian vaksin yang tujuannya untuk menurunkan gejala klinis semata sesuai anjuran dokter, karena sifat penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya setelah melewati masa gejala klinis. Hal utama yang diperhatikan untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memisahkan sapi-sapi yang memiliki gejala demam selama tiga hari (BEF) ke kandang karantina. Lakukan sanitasi kandang dengan ketat, pemberian makan dan minum yang bersih. 
Diferensial Diferensial diagnose atau diagnose banding yaitu 1. Penyakit Mulut dan 2. Kuku  Vesicular stomatitis  3. Penyakit sampar pada sapi 4. Bovine Viral Diarrhea Virus - Mucosal Disease (BVDV-MD) 5. Jembrana 6. Pada kambing dan domba : penyakit virus contagious ecthyma dan orf 
Diagnosa laboratorium dengan. Identifikasi agen penyakit:
1.  Parasitologi : Identifikasi Parasit darah jumlah 2 ekor , hasil : Negatif 
2. Bakteriologi : Kulture bakteri jumlah 2 ekor , hasil : Negatif 
3. Serologi : Identifikasi antibodi NSP PMK jumlah 75 ekor , hasil : Negatif (wilayah sekitar       kasus terduga PMK) 

4. Bioteknologi Identifikasi virus MCF jumlah 1 ekor, hasil : Positif 


Kondisi Sapi yang menderita MCF